Asal Usul Nama Kota Ampenan
Tersebutlah pada zaman dahulu, kerajaan Bali berhasil membakar Desa Kenaga. Saat itu, yang menjadi pusat pemerintahan kerajaan Kenaga adalah Suradadi. Paihnya bernama Raden Satria Nata.
Setelah
kalah perang dengan Bali, Raden Satria Nata bersama pengikutnya mencari
tempat untuk membuka desa baru. Akhirnya, dijumpailah tempat yang mirip
dengan desa Kenaga. Desa itu bemama desa Madya. Raden Satria Nata dan
pengikutnya kemudian membuka ladang dan bercocok tanam di situ. Tanaman
yang paling cocok adalah jenis “komak” (dalam bahasa Jawa disebut
“kara”). Konon, pada saat komak sedang berbunga, datanglah putri Jin
mengisap sari bunga komak. Salah satu putri Jin tertangkap oleh Raden
Satria Nata. Singkat cerita, putri Jin itu kemudian menjadi permaisuri
Raden Satria Nata. Namun, kedua belah pihak telah bersepakat untuk tidak
saling berbicara selama menjadi suami istri.
Dalam
perkawinan mereka, lahirlah seorang putra yang sangat disayang oleh
Raden Satria Nata. Perasaan itu ingin ia ucapkan kepada istrinya. Namun,
hal itu tidak mungkin karena ia tidak ingin melanggar janji yang telah
disepakati.
Pada suatu hari, sang istri pergi ke perigi (sumur)
mengambil air. Anaknya ditidurkan di atas “geong” (ayunan). Pada waktu
itu, sang bayi sudah bisa duduk. Kesempatan itu dipergunakan oleh Raden
Satria Nata untuk mengambil selendang yang biasa dipakai untuk
menggendong putranya, lalu disembunyikan. Sejenak ia mengelus putranya
yang sedang tidur nyenyak.
Tidak berapa lama kemudian, datanglah
sang ibu. Sesampai di rumah, sang ibu melihat putranya sudah bangun dan
menangis. Maka diangkatlah putranya, sambil mencari-cari selendangnya.
Tanpa bicara sedikit pun sang ibu keluar masuk kamar mencari
selendangnya, namun tidak dijumpainya.
Melihat wajah istrinya dan
tingkah lakunya, Raden Satria Nata bertanya, “Apa yang engkau cari?
Barangkali ini.” la berkata sambil menyodorkan selendang yang
diambilnya. Istrinya segera mengambil selendang itu dan dengan sopannya
ia bersimpuh dan berkata, “Sampai di sini kita hidup bersama. Saya
terpaksa meninggalkan kanda karena kanda telah melanggar janji yang
telah kita sepakati.” Kemudian, ia bangkit dan pergi mengambil “joman”
(jerami) dan dibakarnya. Sang putri bersama Putranya lenyap bersama
lenyapnya kepulan asap jerami.
Raden Satria Nata tak mampu menahan
kepergian istrinya, kemudian ia pingsan. Setelah siuman ia dianjurkan
untuk bertapa di gunung Sesang, agar bisa bertemu dengan anak istrinya.
Selama
sembilan hari sembilan malam, ia tidak bisa berjumpa dengan istri dan
anaknya. Hanya suara istrinya yang terdengar. Istrinya mengatakan bahwa
dirinya tak mungkin kembali. Yang mungkin kembali adalah putranya,
dengan syarat harus diadakan upacara selamatan dengan sesajen yang
dilengkapi dengan dulang sebanyak empat puluh empat macam dan dibawa ke
desa Kenaga.
Setelah diadakan upacara yang dipimpin oleh Nek Sura, putranya dapat kembali dan dipelihara oleh Nek Sura.
Raden
Satria Nata tidak puas sebelum berjumpa dengan istrinya, namun yang
ditunggu tidak kunjung datang. Akhirnya, Raden Satria Nata meninggal di
pertapaan.
Sementara
itu, putra Raden Satria Nata telah berumur enam tahun, namun belum
diberi nama. Lalu, dicarilah orang yang bisa memberi nama. Tujuannya
adalah ke Gel-gel, tempat leluhurnya, barangkali ada yang bisa memberi
nama. Konon pada saat menunggu perahu untuk menyeberang ke Bali,
tiba-tiba datang seorang tua mengaku keturunan Satria Dayak,
satu-satunya yang berhak memberi nama kepada putra Raden Satria Nata.
Kemudian, putra Raden Satria Nata diberi nama “Satria Tampena”.
Dari nama Satria Tampena inilah konon asal nama kota Ampenan. Keturunan Satria Tampena terdapat di desa Suradadi, Kabupaten Lombok Timur.
.................................................................................................................................................
CALON ARANG
Pada
suatu masa di Kerajaan Daha yang dipimpin oleh raja Erlangga, hidup
seorang janda yang sangat bengis. Ia bernama Calon Arang. Ia tinggal di
desa Girah. Calon Arang adalah seorang penganut sebuah aliran hitam,
yakni kepercayaan sesat yang selalu mengumbar kejahatan memakai ilmu
gaib. Ia mempunyai seorang putri bernama Ratna Manggali. Karena
puterinya telah cukup dewasa dan Calon Arang tidak ingin Ratna Manggali
tidak mendapatkan jodoh, maka ia memaksa beberapa pemuda yang tampan
dan kaya untuk menjadi menantunya. Karena sifatnya yang bengis, Calon
Arang tidak disukai oleh penduduk Girah. Tak seorang pemuda pun yang mau
memperistri Ratna Manggali. Hal ini membuat marah Calon Arang. Ia
berniat membuat resah warga desa Girah.
“Kerahkan
anak buahmu! Cari seorang anak gadis hari ini juga! Sebelum matahari
tenggelam anak gadis itu harus dibawa ke candi Durga!“ perintah Calon
Arang kepada Krakah, seorang anak buahnya. Krakah segera mengerahkan
cantrik-cantrik Calon Arang untuk mencari seorang anak gadis. Suatu
perkerjaan yang tidak terlalu sulit bagi para cantrik Calon Arang.
Sebelum matahari terbit, anak gadis yang malang itu sudah berada di Candi Durga. Ia
meronta-ronta ketakutan. “Lepaskan aku! Lepaskan aku!“ teriaknya. Lama
kelamaan anak gadis itu pun lelah dan jatuh pingsan. Ia kemudian di
baringkan di altar persembahan. Tepat tengah malam yang gelap gulita,
Calon Arang mengorbankan anak gadis itu untuk dipersembahkan kepada
Betari Durga, dewi angkara murka.
Kutukan
Calon Arang menjadi kenyataan. “Banjir! Banjir!“ teriak penduduk Girah
yang diterjang aliran sungai Brantas. Siapapun yang terkena percikan air
sungai Brantas pasti akan menderita sakit dan menemui ajalnya. “He, he…
siapa yang berani melawan Calon Arang ? Calon Arang tak terkalahkan!”
demikian Calon Arang menantang dengan sombongnya. Akibat ulah Calon
Arang itu, rakyat semakin menderita. Korban semakin banyak. Pagi sakit,
sore meninggal. Tidak ada obat yang dapat menanggulangi wabah penyakit
aneh itu..
“Apa
yang menyebabkan rakyatku di desa Girah mengalami wabah dan bencana ?”
Tanya Prabu Erlangga kepada Paman Patih. Setelah mendengar laporan Paman
Patih tentang ulah Calon Arang, Prabu Erlangga marah besar. Genderang
perang pun segera ditabuh. Maha Patih kerajaan Daha segera menghimpun
prajurit pilihan. Mereka segera berangkat ke desa Girah untuk menangkap
Calon Arang. Rakyat sangat gembira mendengar bahwa Calon Arang akan
ditangkap. Para prajurit menjadi bangga dan merasa tugas suci itu akan
berhasil berkat doa restu seluruh rakyat.
Prajurit
kerajaan Daha sampai di desa kediaman Calon Arang. Belum sempat
melepaskan lelah dari perjalanan jauh, para prajurit dikejutkan oleh
ledakan-ledakan menggelegas di antara mereka. Tidak sedikit prajurit
Daha yang tiba-tiba menggelepar di tanah, tanpa sebab yang pasti.
Korban
dari prajurit Daha terus berjatuhan. Musuh mereka mampu merobohkan
lawannya dari jarak jauh, walaupun tanpa senjata. Kekalahan prajurit
Daha membuat para cantrik, murid Calon Arang bertambah ganas. “Serang!
Serang terus!” seru para cantrik. Pasukan Daha porak poranda dan lari
pontang-panting menyelamatkan diri. Prabu Erlangga terus mencari cara
untuk mengalahkan Calon Arang. Untuk mengalahkan Calon Arang, kita harus
menggunakan kasih saying”, kata Empu Barada dalam musyawarah kerajaan.
“Kekesalan Calon Arang disebabkan belum ada seorang pun yang bersedia
menikahi puteri tunggalnya.“
Empu Barada meminta Empu Bahula agar dapat membantu dengan tulus untuk mengalahkan Calon Arang. Empu
Bahula yang masih lajang diminta bersedia memperistri Ratna Manggali.
Dijelaskan, bahwa dengan memperistri Ratna Manggali, Empu Bahula dapat
sekaligus memperdalam dan menyempurnakan ilmunya.
Akhirnya
rombongan Empu Bahula berangkat ke desa Girah untuk meminang Ratna
Manggali. “He he … aku sangat senang mempunyai menantu seorang Empu yang
rupawan.” Calon Arang terkekeh gembira. Maka, diadakanlah pesta
pernikahan besar-besaran selama tujuh hari tujuh malam. Pesta pora yang
berlangsung itu sangat menyenangkan hati Calon Arang. Ratna Manggali dan
Empu Bahula juga sangat bahagia. Mereka saling mencintai dan mengasihi.
Pesta pernikahan telah berlalu, tetapi suasana gembira masih meliputi
desa Girah. Empu Bahula memanfaatkan saat tersebut untuk melaksanakan
tugasnya.
Di suatu hari, Empu Bahula bertanya kepada istrinya, “Dinda Manggali,
apa yang menyebabkan Nyai Calon Arang begitu sakti?“ Ratna Manggali
menjelaskan bahwa kesaktian Nyai Calon Arang terletak pada Kitab Sihir.
Melalui buku itu, ia dapat memanggil Betari Durga. Kitab sihir itu tidak
bisa lepas dari tangan Calon Arang, bahkan saat tidur, Kitab sihir itu
digunakan sebagai alas kepalanya.
Empu
Bahula segera mengatur siasat untuk mencuri Kitab Sihir. Tepat tengah
malam, Empu Bahula menyelinap memasuki tempat peraduan Calon Arang.
Rupanya Calon Arang tidur terlalu lelap, karena kelelahan setelah selama
tujuh hari tujuh malam mengumbar kegembiraannya. Empu Bahul berhasil
mencuri Kitab sihir Calon Arang dan langsung diserahkan ke Empu Baradah.
Setelah itu, Empu Bahula dan istrinya segera mengungsi.
Calon Arang sangat marah ketika mengetahui Kitab sihirnya sudah tidak ada lagi,
ia bagaikan seekor badak yang membabi buta. Sementara itu, Empu Baradah
mempelajari Kitab sihir dengan tekun. Setelah siap, Empu Baradah
menantang Calon Arang. Sewaktu menghadapi Empu Baradah, kedua belah
telapak tangan Calon Arang menyemburkan jilatan api, begitu juga kedua
matanya. Empu Baradah menghadapinya dengan tenang. Ia segera membaca
sebuah mantera untuk mengembalikan jilatan dan semburan api ke tubuh
Calon Arang. Karena Kitab sihir sudah tidak ada padanya, tubuh Calon
Arang pun hancur menjadi abu dan tertiup kencang menuju ke Laut Selatan.
Sejak itu, desa Girah menjadi aman tenteram seperti sediakala.
.................................................................................................................................................
LEGENDA BUKIT KELAM (Kalimantan Barat)
Bukit
Kelam merupakan salah satu obyek wisata alam yang eksotis di Kabupaten
Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia. Bukit yang telah menjadi Kawasan
Hutan Wisata ini memiliki panorama alam yang memesona, yaitu berupa
pemandangan air terjun, gua alam yang dihuni oleh ribuan kelelawar, dan
sebuah tebing terjal setinggi kurang lebih 600 meter yang ditumbuhi
pepohonan di kaki dan puncaknya. Dibalik pesona dan eksotisme Bukit
Kelam, tersimpan sebuah cerita yang cukup menarik. Konon, Bukit Kelam
dulunya merupakan sebuah rantau.[1] Namun, karena terjadi suatu
peristiwa, maka kemudian rantau itu menjelma menjadi Bukit Kelam.
Bagaimana kisahnya sehingga rantau itu menjelma menjadi bukit yang indah
dan memesona? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Legenda Bukit
Kelam berikut ini.
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.
Alkisah, di Negeri Sintang, Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah dua orang pemimpin dari keturunan dewa yang memiliki kesaktian tinggi, namun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Yang pertama bernama Sebeji atau dikenal dengan Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka merusak, pendengki dan serakah. Tidak seorang pun yang boleh memiliki ilmu, apalagi melebihi kesaktiannya. Oleh karena itu, ia kurang disukai oleh masyarakat sekitar, sehingga sedikit pengikutnya. Sementara seorang lainnya bernama Temenggung Marubai. Sifatnya justru kebalikan dari sifat Bujang Beji. Ia memiliki sifat suka menolong, berhati mulia, dan rendah hati. Kedua pemimpin tersebut bermata pencaharian utama menangkap ikan, di samping juga berladang dan berkebun.
Bujang Beji beserta pengikutnya menguasai sungai di Simpang Kapuas, sedangkan Temenggung Marubai menguasai sungai di Simpang Melawi. Ikan di sungai Simpang Melawi beraneka ragam jenis dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan sungai di Simpang Kapuas. Tidak heran jika setiap hari Temenggung Marubai selalu mendapat hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan Bujang Beji.
Temenggung Marubai menangkap ikan di sungai Simpang Melawi dengan menggunakan bubu (perangkap ikan) raksasa dari batang bambu dan menutup sebagian arus sungai dengan batu-batu, sehingga dengan mudah ikan-ikan terperangkap masuk ke dalam bubunya. Ikan-ikan tersebut kemudian dipilihnya, hanya ikan besar saja yang diambil, sedangkan ikan-ikan yang masih kecil dilepaskannya kembali ke dalam sungai sampai ikan tersebut menjadi besar untuk ditangkap kembali. Dengan cara demikian, ikan-ikan di sungai di Simpang Melawi tidak akan pernah habis dan terus berkembang biak.
Mengetahui hal tersebut, Bujang Beji pun menjadi iri hati terhadap Temenggung Marubai. Oleh karena tidak mau kalah, Bujang Beji pun pergi menangkap ikan di sungai di Simpang Kapuas dengan cara menuba[2]. Dengan cara itu, ia pun mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak. Pada awalnya, ikan yang diperoleh Bujang Beji dapat melebihi hasil tangkapan Temenggung Marubai. Namun, ia tidak menyadari bahwa menangkap ikan dengan cara menuba lambat laun akan memusnahkan ikan di sungai Simpang Kapuas, karena tidak hanya ikan besar saja yang tertangkap, tetapi ikan kecil juga ikut mati. Akibatnya, semakin hari hasil tangkapannya pun semakin sedikit, sedangkan Temenggung Marubai tetap memperoleh hasil tangkapan yang melimpah. Hal itu membuat Bujang Beji semakin dengki dan iri hati kepada Temenggung Marubai.
”Wah, gawat jika keadaan ini terus dibiarkan!” gumam Bujang Beji dengan geram.
Sejenak ia merenung untuk mencari cara agar ikan-ikan yang ada di kawasan Sungai Melawi habis. Setelah beberapa lama berpikir, ia pun menemukan sebuah cara yang paling baik, yakni menutup aliran Sungai Melawi dengan batu besar pada hulu Sungai Melawi. Dengan demikian, Sungai Melawi akan terbendung dan ikan-ikan akan menetap di hulu sungai.
Setelah memikirkan masak-masak, Bujang Beji pun memutuskan untuk mengangkat puncak Bukit Batu di Nanga Silat, Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan kesaktiannya yang tinggi, ia pun memikul puncak Bukit Batu yang besar itu. Oleh karena jarak antara Bukit Batu dengan hulu Sungai Melawi cukup jauh, ia mengikat puncak bukit itu dengan tujuh lembar daun ilalang.
Di tengah perjalanan menuju hulu Sungai Melawi, tiba-tiba Bujang Beji mendengar suara perempuan sedang menertawakannya. Rupanya, tanpa disadari, dewi-dewi di Kayangan telah mengawasi tingkah lakunya. Saat akan sampai di persimpangan Kapuas-Melawi, ia menoleh ke atas. Namun, belum sempat melihat wajah dewi-dewi yang sedang menertawakannya, tiba-tiba kakinya menginjak duri yang beracun.
”Aduuuhhh... !” jerit Bujang Beji sambil berjingkrat-jingkrat menahan rasa sakit.
Seketika itu pula tujuh lembar daun ilalang yang digunakan untuk mengikat puncak bukit terputus. Akibatnya, puncak bukit batu terjatuh dan tenggelam di sebuah rantau yang disebut Jetak. Dengan geram, Bujang Beji segera menatap wajah dewi-dewi yang masih menertawakannya.
”Awas, kalian! Tunggu saja pembalasanku!” gertak Bujang Beji kepada dewi-dewi tersebut sambil menghentakkan kakinya yang terkena duri beracun ke salah satu bukit di sekitarnya.
”Enyahlah kau duri brengsek!” seru Bujang Beji dengan perasaan marah.
Setelah itu, ia segera mengangkat sebuah bukit yang bentuknya memanjang untuk digunakan mencongkel puncak Bukit Batu yang terbenam di rantau (Jetak) itu. Namun, Bukit Batu itu sudah melekat pada Jetak, sehingga bukit panjang yang digunakan mencongkel itu patah menjadi dua. Akhirnya, Bujang Beji gagal memindahkan puncak Bukit Batu dari Nanga Silat untuk menutup hulu Sungai Melawi. Ia sangat marah dan berniat untuk membalas dendam kepada dewi-dewi yang telah menertawakannya itu.
Bujang Beji kemudian menanam pohon kumpang mambu[3] yang akan digunakan sebagai jalan untuk mencapai Kayangan dan membinasakan para dewi yang telah menggagalkan rencananya itu. Dalam waktu beberapa hari, pohon itu tumbuh dengan subur dan tinggi menjulang ke angkasa. Puncaknya tidak tampak jika dipandang dengan mata kepala dari bawah.
Sebelum memanjat pohon kumpang mambu, Bujang Keji melakukan upacara sesajian adat yang disebut dengan Bedarak Begelak, yaitu memberikan makan kepada seluruh binatang dan roh jahat di sekitarnya agar tidak menghalangi niatnya dan berharap dapat membantunya sampai ke kayangan untuk membinasakan dewi-dewi tersebut.
Namun, dalam upacara tersebut ada beberapa binatang yang terlupakan oleh Bujang Beji, sehingga tidak dapat menikmati sesajiannya. Binatang itu adalah kawanan sampok (Rayap) dan beruang. Mereka sangat marah dan murka, karena merasa diremehkan oleh Bujang Beji. Mereka kemudian bermusyawarah untuk mufakat bagaimana cara menggagalkan niat Bujang Beji agar tidak mencapai kayangan.
”Apa yang harus kita lakukan, Raja Beruang?” tanya Raja Sampok kepada Raja Beruang dalam pertemuan itu.
”Kita robohkan pohon kumpang mambu itu,” jawab Raja Beruang.
”Bagaimana caranya?” tanya Raja Sampok penasaran.
”Kita beramai-ramai menggerogoti akar pohon itu ketika Bujang Beji sedang memanjatnya,” jelas Raja Beruang.
Seluruh peserta rapat, baik dari pihak sampok maupun beruang, setuju dengan pendapat Raja Beruang.
Keesokan harinya, ketika Bujang Beji memanjat pohon itu, mereka pun berdatangan menggerogoti akar pohon itu. Oleh karena jumlah mereka sangat banyak, pohon kumpang mambu yang besar dan tinggi itu pun mulai goyah. Pada saat Bujang Beji akan mencapai kayangan, tiba-tiba terdengar suara keras yang teramat dahsyat.
”Kretak... Kretak... Kretak... !!!”
Beberapa saat kemudian, pohon Kumpang Mambu setinggi langit itu pun roboh bersama dengan Bujang Beji.
”Tolooong... ! Tolooong.... !” terdengar suara Bujang Beji menjerit meminta tolong.
Pohon tinggi itu terhempas di hulu sungai Kapuas Hulu, tepatnya di Danau Luar dan Danau Belidak. Bujang Beji yang ikut terhempas bersama pohon itu mati seketika. Maka gagallah usaha Bujang Beji membinasakan dewi-dewi di kayangan, sedangkan Temenggung Marubai terhindar dari bencana yang telah direncanakan oleh Bujang Beji.
Menurut cerita, tubuh Bujang Beji dibagi-bagi oleh masyarakat di sekitarnya untuk dijadikan jimat kesaktian. Sementara puncak bukit Nanga Silat yang terlepas dari pikulan Bujang Beji menjelma menjadi Bukit Kelam. Patahan bukit yang berbentuk panjang yang digunakan Bujang Beji untuk mencongkelnya menjelma menjadi Bukit Liut. Adapun bukit yang menjadi tempat pelampiasan Bujang Beji saat menginjak duri beracun, diberi nama Bukit Rentap.
.................................................................................................................................................
Dahulu kala, hidup seorang petani bersama isterinya. Walaupun tidak kaya, mereka suka menolong orang lain.
Suatu
malam, petani sedang duduk di tempat tidur. Di sampingnya, isterinya
sudah terlelap. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor kelabang putih yang
muncul dari kepala isterinya. Kelabang putih itu berjalan meninggalkan
rumah petani. Petani itu mengikutinya hingga tiba di sebuah kolam tak
jauh dari rumah mereka. Kelabang itu lalu menghilang. Petani lalu
berjalan pulang. Isterinya masih pulas.
Esok
paginya, isteri petani menceritakan mimpinya semalam. “Aku sedang
berjalan di padang rumput, dan ada sebuah danau di sana. Aku melihat
seekor landak raksasa di dalam danau itu. Ia melotot kepadaku, maka aku
lari.”
Petani
itu lalu pergi lagi ke kolam. Di dalamnya ia melihat suatu benda yang
berkilau. Ia mengambilnya, ternyata sebuah patung landak dari emas.
Patung itu sangat indah, matanya dari berlian. Petani membawanya pulang.
Malam
harinya, petani didatangi seekor landak raksasa dalam mimpinya.
“Ijinkan aku tinggal di rumahmu. Sebagai balasannya, aku akan memberikan
apa saja yang kau minta.”
Landak
itu mengajarkan untuk mengusap kepala patung landak emas dan
mengucapkan kalimat untuk meminta sesuatu. Jika yang diminta sudah
cukup, petani harus mengucapkan kalimat untuk menghentikannya.
Petani
menceritakan mimpinya kepada isterinya. Mereka ingin membuktikan mimpi
itu. Petani mengusap kepala patung dan mengucapkan kalimat permintaan.
Ia meminta beras. Seketika dari mulut patung keluarlah beras! Beras itu
terus mengalir keluar hingga banyak sekali. Petani segera mengucapkan
kalimat kedua dan beras berhenti keluar dari mulut patung landak.
Mereka
berdua kemudian meminta berbagai benda yang mereka butuhkan. Mereka
menjadi sangat kaya. Namun mereka tetap tidak sombong dan makin gemar
menolong. Banyak orang datang untuk meminta tolong.
Seorang
pencuri mengetahui rahasia patung landak. Ia berpura-pura minta tolong
dan mencuri patung itu. Pencuri membawa patung itu pulang. Desanya
sedang dilanda kekeringan. Pencuri mengatakan kepada
tetangga-tetangganya bahwa ia dapat mendatangkan air untuk kampung
mereka.
Pencuri
memohon air sambil mengusap kepala patung dan mengucapkan kalimat
permintaan. Air keluar dari mulut patung. Penduduk desa itu sangat
senang. Tak lama kemudian, air yang keluar sudah mencukupi kebutuhan
penduduk desa, namun terus mengalir sehingga terjadi banjir. Pencuri itu
tidak tahu bagaimana menghentikan air yang keluar dari patung. Penduduk
desa lari menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi.
Pencuri
juga ingin menyelamatkan diri, namun tidak bisa menggerakkan kakinya.
Ia melihat seekor landak raksasa memegangi kakinya. Akhirnya ia
tenggelam dalam air yang makin lama makin tinggi. Air itu kemudian
membentuk sungai yang disebut sungai Landak.