Kamis, 28 April 2011

Tugas Pendidikan Agama Islam : Dosa Besar Terhadap Makanan & Minuman


Dosa Besar Terhadap Makanan & Minuman

Dosa-dosa pokok (= capital sins) adalah sumber segala dosa lainnya. Kata `capital' berasal dari kata Latin `caput' yang berarti `kepala'. St Thomas Aquinas, seorang teolog lebih suka mempergunakan kata “kebiasaan buruk” daripada “dosa”. Ia mengatakan, “Suatu kebiasaan buruk pokok adalah suatu kebiasaan buruk yang membangkitkan hasrat yang terlampau berlebihan sehingga demi memenuhi hasrat tersebut, orang akhirnya melakukan banyak dosa, yang dapat dikatakan kesemuanya berasal dari kebiasaan buruk yang satu itu sebagai sumber utamanya” (Summa Theologiae, II-II, 153, 4). Di sini St Thomas menekankan disposisi atau kebiasaan yang membuat orang cenderung untuk berbuat dosa. Sebab itu, dosa-dosa pokok atau kebiasaan-kebiasaan buruk pokok adalah sungguh “pokok” dan serius sebab merupakan sumber dari dosa-dosa aktual tertentu, entah dosa berat ataupun dosa ringan; pada gilirannya, pengulangan dosa-dosa aktual, khususnya dosa-dosa berat, menghantar pada kerusakan rohani orang yang hidupnya dikuasai oleh kebiasaan buruk ini. Menurut tradisi, yang termasuk dalam dosa-dosa pokok ini seperti dimaklumkan oleh Paus St Gegorius Agung, adalah: kesombongan, ketamakan, hawa nafsu, iri hati, kerakusan, kemarahan dan kemalasan. Menariknya, St Thomas memasukkan “besar kepala” dan bukan kesombongan, guna menegaskan bahwa kesombongan adalah sumber dari segala dosa lainnya tanpa kecuali. Kita sekarang akan memberikan perhatian secara ringkas pada masing-masing dosa pokok

Terhalang dari beroleh rizki dan urusan dipersulit.
Takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mendatangkan rizki dan memudahkan urusan seorang hamba sebagaimana firman-Nya:
وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبُ
“Siapa yg bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan bagi orang tersebut jalan keluar dan memberi rizki dari arah yg tiada disangka-sangkanya.”
وَمَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Siapa yg bertakwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan bagi kemudahan dlm urusannya.”
Meninggalkan takwa berarti akan mendatangkan kefakiran dan membuat si hamba terbelit urusannya.

KERAKUSAN adalah “hasrat yang berlebihan akan makanan dan minuman.” Kerakusan berbahaya bagi kesehatan mental maupun fisik, dan kerap kali menyembunyikan bahkan masalah rohani yang lebih dalam. Orang perlu melatih keutamaan penguasaan diri guna mencegah kerakusan. Juga, orang hendaknya ingat akan konsekuensi fisik atas penyalahgunaan makanan dan minuman; misalnya, minum berlebihan dapat menghantar orang pada kecanduan alkohol. Akhirnya, orang hendaknya senantiasa ingat akan mereka yang kurang beruntung dan yang menderita akibat kekurangan makanan dan minuman yang layak.

Rakus adalah kepatuhan pada tuntutan perut dan seksual, serta
ketamakan yang sangat terhadap makanan dan seksual. Sifat ini dapat
dijelaskan dari sisi dampak-dampak yang diakibatkan oleh kekuatan
keinginan syahwati, yakni tuntutan perut dan seksual, cinta dunia dan
lain sebagainya. Di antara sifat-sifat hina yang paling umum adalah
cinta dunia dan yang berkait dengannya. Kami akan menjelaskannya
mengapa sifat ini disebut sifat yang hina dan tercela.
Rakus digolongkan sebagai sifat yang hina karena melampaui batas
pemanfaatan potensi syahwat yang semestinya. Kita tidak perlu
meragukan bahwa sifat ini adalah sifat yang hina dan tercela.
Rasulullah saw bersabda:
"Barangsiapa yang menjaga dirinya dari keburukan tuntutan seksual dan
perutnya, maka ia telah terjaga."
"Celakalah manusia karena dua tuntutan! Sahabat bertanya: Apa dua
tuntutan itu ya Rasulullah? Beliau menjawab: Kerongkongan dan seksual."
"Ada dua rongga yang paling banyak menggiring umatku ke neraka: Perut
dan kemaluan."
"Tiga hal yang paling aku takutkan bagi umatku sesudahku: Kesesatan
setelah pengenalan, kesesatan fitnah, tuntutan syahwati perut dan
kemaluan."
Tentang kehinaan tutuntan perut dan kerakusan dalam makan dan minum,
antara lain disebutkan di dalam hadis-hadis berikut:
Rasulullah saw:
"Anak cucu Adam tidak boleh memenuhi perutnya dengan cara yang buruk.
Ukuran makan yang semestinya bagi anak cucu Adam adalah sekedar untuk
menegakkan tulang belakangnya. Jika tidak, yang layak baginya adalah
sepertiga untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga untuk
jiwanya."
"Janganlah matikan hatimu dengan banyaknya makanan dan minuman, karena
sesungguhnva hati itu seperti tanaman, ia akan mati jika kebanyakan air. "
"Kedudukan kalian yang paling utama di sini Allah adalah kalian yang
paling lama lapar dan tafakkurnya. Adapun yang paling dibenci oleh
Allahswt adalah kalian yang paling banyak tidur karena kebanyakan
makan dan minum."
"Orang mukmin makan dalam, satu usus, sedangkan orang munafik makan
dalam tujuh usus." Yakni, orang munafik makan tujuh kali lipat dari
ukuran makan orang mukmin. Atau ukuran tuntutan syahwat orang munafik
tujuh kali lipat lebih besar dari ukuran orang mukmin. Jadi, usus yang
disebutkan dalam hadis tersebut adalah bahasa simbolik dari tuntutan
syahwati.
"Sesungguhnya manusia yang paling dibenci Allah adalah mereka yang
tidak sehat karena kebanyakan makan. Dan tidak ada seorangpun hamba
yang meninggalkan makanan yang sangat diinginkan, kecuali ia mempunyai
derajat di surga."
"Seburuk-buruk pertolongan terhadap agania adalah hati yang banyak
pilihan, perut yang banyak keinginan dan tuntutan seksual yang
melampaui batas."
 
"Manusia yang paling lama laparnya di hari kiamat adalah mereka yang
paling banyak kenyangnya di dunia."
"Tidak akan masuk ke malakut langit orang yang memenuhi perutnya."
Dalam kitab Taurat disebutan:
"Sesungguhnya Allah membenci kesenangan yang menggemukkan." Karena
gemuktu menunjukkan pada kelalaian dan kebanyakan makan.
Dalam sebagian riwayat dikatakan:
"Sesungguhnya Allah membenci orang gemuk yang membaca Al-Qur'an."
Lukman berkata kepada puteranya:
"Wahai anakku! Jika perut dipenuhi, maka tidurlah pikiran, membisulah
hikmah, dan duduklah semua organ tubuh enggan beribadah."
Imam Al-Baqir (sa) berkata:
"Jika perut itu kenyang, ia akan melampaui batas, cenderung pada
kezaliman."
"Tidak ada sesuatu yang lebih dibenci Allah Azza wa Jalla daripada
perut yang terpenuhi."
Imam Ash-Shadiq (sa) berkata:
"Sesungguhnya perut itu akan melampaui batas ukuran dalam makan.
Sedangkan seorang hamba yang paling dekat kepada Allah adalah yang
meringankan perutnya; dan hamba yang paling dibenci Allah adalah yang
memenuhi perutnya."
Rasulullah saw bersabda:
"Ukuran makan yang semestinya bagi anak Adam adalah sekedar untuk
menegakkan tulang belakangnya. Jika seseorang dari kamu hendak makan
suatu makanan, maka hendaklah menjadikansepertiga perutnya untuk
makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga untuk jiwanya.
Janganlah kalian gemukkan tubuhmu seperti gemuknya babi yang akan
dipotong."
Imam Ja'far Ash-Shadiq (sa) berkata:
"Tidak ada sesuatu yang lebih membahayakan hati seorang mukmin
daripada kebanyakan makan. Kebanyakan makan dapat mewariskan dua hal:
keras hati dan gejolak syahwat. Sedangkan lapar merupakan lauk-pauk
bagi orang yang beriman, makanan bagi ruh dan hatinya, dan kesehatan
bagi tubuhnya."
Imam Ja'far Ash-Shadiq (sa) berkata:
"Semua penyakit disebabkan oleh makanan, kecuali demam, karena ia
dapat kembali dingin."
Beliau (sa) juga berkata:
"Makan yang kekenyangan dapat mewariskan penyakit kusta." 
Sebagaimana telah dimaklumi bahwa tuntutan perut telah menyebabkan
Adam dan Hawa dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke dunia. Ketika
itu mereka dilarang memakan buah, tapi karena mereka dikuasai oleh
keinginan perutnya, mereka akhirnya memakannya juga, sehingga
terbukalah aurat mereka.
Perut adalah sumber penyakit dan malapetaka, keinginan dan syahwat,
kemudian diikuti oleh syahwat seksual. Syahwat perut dan seksual
merupakan penyebab timbulnya cinta pada kedudukan dan harta sebagai
sarana untuk memperluas tuntutan perut dan seksual. Hal inilah yang
mengakibatkan munculnya bermacam-macam sifat yang hina, seperti hasad
dan dengki. Lalu berkembang melahirkan sifat riya', pamer, ingin
dipuji, bermegah-megah, bangga diri, dan sombong. Kemudian mengundang
sifat tercela lainnya: kedengkian, permusuhan dan kebencian. Pada
akhirnya sifat ini membawa pemiliknya ke jurang yang kehinaan,
kemungkaran dan kekejiaa.
Semua ini adalah buah dari perut yang kenyang, yang terpenuhi dengan
makanan serta minuman. Sekiranya seorang hamba merendahkan dirinya di
hadapan Allah swt melalui lapar, dan mempersempit lalu lintas setan,
niscaya ia tidak akan melewati jalan kesombongan dan kezaliman, tidak
membawanya pada kebinasaan di dunia, tidak jatuh ke lembah kenistaan
dan kehancuran. Karena itu, banyak sekali hadis yang membicarakan
tentang keutamaan lapar dan sabar, antara lain:
Rasulullah saw bersabda:
"Perangilah dirimu dengan lapar dan haus, karena pahalanya seperti
pahala orang yang berjihad di jalan Allah, dan tidak ada perbuatan
yang lebih dicintai oleh Allah daripada lapar dan haus. " 
"Manusia yang paling utama adalah yang sedikit makan dan tertawanya,
ridha terhadap apa yang secukupnya untuk menutupi auratnya."
"Penghulu amal adalah lapar, dan kerendahan hati adalah pakaian yang
sederhana."
"Minum dan makanlah kamu untuk separuh perutmu, karena hal ini adalah
bagian dari nubuwwah.
"Sedikit makan adalah ibadah. "
"Sesungguhnya Allah membanggakan kepada malaikat orang yang sedikit
makan di dunia. Dia berkata: "Lihatlah hamba-Ku itu, Aku mengujinya
dengan makanan dan minuman di dunia, lalu ia sabar dan
meninggalkannya. Saksikanlah wahai malaikatKu, tidak ada sesuap pun
makanan yang ia tinggalkan melainkan Aku gantikan dengan
derajat-derajat di surga. "
"Manusia yang paling dekat dengan Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat
adalah orang yang lapar, haus dan susah di dunia."
Nabi Isa as. berkata:
"Laparkan perutmu dan sederhanakanlah pakaianmu, agar hatimu melihat
Allah Azza wa Jalla. " 
Salah seorang isteri Nabi saw berkata bahwa Rasululllah saw belum
pernah makan sampai kenyang. Aku menangis karena terharu melihatnya
dalam keadaan lapar, lalu aku mengusapkan tanganku pada perutnya
sambil berkata: Demi jiwaku sebagai tebusanmu! Mengapa engkau tidak
mengambil dunia sekedar untuk menguatkanmu dan meninggalkan Lapar.
Kemudian Rasulullah saw. bersabda:
"Saudara-saudaraku, para Rasul ulul azmi, mereka bersabar terhadap hal
yang bahkan lebih dari ini. Dengan keadaannya itu mereka menghadap
kepada Tuhannya. Maka Dia memuliakan tempat kembali mereka dan
memperbanyak pahala mereka. Aku malu hidup dalam kemegahan, hari esok
aku akan hidup sendrian tanpa mereka. Karena itu, aku bersabar dalam
beberapa hari yang mudah dan itu lebih aku cintai ketimbang bagianku
esok di akhirat terkurangi. Dan yang paling aku cintai adalah menyusul
sahabat-sahabatku dan saudara-saudaraku."
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Fatimah Az-Zahra (sa) puteri
Rasulullah saw tercinta, mendatangi Nabi saw dan menunjukkan potongan
roti. Lalu Nabi saw. bertanya: Apa ini? Fatimah (sa) menjawab:
Potongan roti Al-Hasan dan Al-Husein, aku datang kepada ayahanda untuk
membawa potongan roti ini. Lalu Nabi saw. bersabda: "Makanan inilah
yang pertama kali masuk ke mulut ayahmu sejak usia tiga tahun."

Hukum Makanan Dalam Islam

Apa yang kita lakukan apabila dihidangkan kepada kita daging untuk dimakan sedangkan kita tidak tahu apakah disembelih atas nama Allat atau tidak ? Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjawab di dalam Fatawa Nur ‘Alad Darbi sebagai berikut : “Diriwayatkan dalam Shahih Bukhari yang bersumber dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwasanya ada suatu kaum yang berkata kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya ada satu kelompok manusia yang datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah ataukah tidak ? Maka beliau menjawab : “Sebutlah nama Allah oleh kamu atasnya dan makanlah”. Aisyah menjawab, “Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan kekufuran” [Riwayat Imam Al-Bukhari, Hadits no. 2057]Maksudnya, mereka baru masuk Islam. Dan orang seperti mereka kadang-kadang tidak banyak mengetahui hukum-hukum secara rinci yang hanya diketahui oleh orang-orang yang sudah lama tinggal bersama kaum Muslimin. Namun begitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada mereka (para penanya) agar pekerjaan mereka diselesaikan oleh mereka sendiri, seraya bersabda : “Sebutlah nama Allah oleh kamu atasnya”, yang maksudnya adalah : Bacalah bismillah atas makanan itu lalu makanlah.
Adapun apa yang dilakukan oleh orang lain selain anda, dari orang-orang yang perbuatannya dianggap sah, maka harus diyakini sah, tidak boleh dipertanyakan. Sebab mempertanyakannya termasuk sikap berlebihan. Kalau sekiranya kita mengharuskan diri kita untuk mempertanyakan tentang hal seperti itu, maka kita telah mempersulit diri kita sendiri, karena adanya kemungkinan setiap makanan yang diberikan kepada kita itu tidak mubah (tidak boleh), padahal siapa saja yang mengajak anda untuk makan, maka boleh jadi makanan itu adalah hasil ghashab (mengambil tanpa diketahui pemiliknya) atau hasil curian, dan boleh jadi berasal dari uang yang haram, dan boleh jadi daging yang ada di makanan tidak disebutkan nama Allah (waktu disembelih). Maka termasuk dari rahmat Allah kepada hamba-hambaNya adalah bahwasanya suatu perbuatan, apabila datangnya dari ahlinya, maka jelas ia mengerjakannya secara sempurna hingga bersih dari dzimmah (beban) dan tidak perlu menimbulkan kesulitan bagi orang lain.”
Selanjutnya di dalam Majalah Al-Muslimun, edisi 2, Syaikh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan : “Ayam impor dari negara asing, yakni non Islam, jika yang menyembelihnya adalah ahlul kitab, yaitu yahudi atau nashrani maka boleh dimakan dan tidak sepantasnya dipertanyakan bagaimana cara penyembelihannya atau apakah disembelih atas nama Allah atau tidak ? Yang demikian itu karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah makan daging domba yang dihadiahkan oleh seorang perempuan yahudi kepadanya di Khaibar, dan beliau juga memakan makanan ketika beliau di undang oleh seorang yahudi, yang di dalam makan itu ada sepotong gajih dan beliau tidak menanyakan bagaimana mereka menyembelihnya atau apakah disembelih dengan menyebut nama Allah atau tidak ?!Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan : “Bahwasanya ada sekelompok orang yang berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Sesungguhnya ada suatu kaum yang datang kepada kami dengan membawa daging, kami tidak tahu apakah disembelih atas nama Allah atau tidak. Maka beliau menjawab, “Bacalah bismillah atasnya oleh kamu dan makanlah” Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : Mereka pada saat itu masih baru meninggalkan kekafiran.
Di dalam hadits-hadits diatas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa tidak selayaknya (bagi kita) mempertanyakan tentang bagaimana real penyembelihannya jika yang melakukannya orang yang diakui kewenangannya. Ini adalah merupakan hikmah dari Allah dan kemudahan dariNya ; sebab jika manusia dituntut untuk menggali syarat-syarat mengenai wewenang yang sah yang mereka terima, niscaya hal itu akan menimbulkan kesulitan dan membebani diri sehingga menyebabkan syari’at ini menjadi syari’at yang sulit dan memberatkan.
Adapun kalau hewan potong itu datang dari negara asing dan orang yang melakukan penyembelihannya adalah orang yang tidak halal sembelihannya, seperti orang-orang majusi dan penyembah berhala serta orang-orang yang tidak menganut ajaran agama (atheis), maka ia tidak boleh dimakan, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak membolehkan sembelihan selain kaum Muslimin, kecuali orang-orang ahlu kitab, yaitu yahudi dan nashrani. Apabila kita meragukan orang yang menyembelihnya, apakah berasal dari orang yang halal sembelihannya ataukah tidak, maka yang demikian itu tidak apa-apa.
Para fuqaha (ahli fiqih) berkata : “Apabila anda menemukan sesembelihan dibuang di suatu tempat yang sembelihan mayoritas penduduknya halal, maka sembelihan itu halal”, hanya saja dalam kondisi seperti ini kita harus menghindari dan mencari makanan yang tidak ada keraguannya. Sebagai contoh : Kalau ada daging yang berasal dari orang-orang yang halal sembelihannya, lalu sebagian mereka ada yang menyembelih secara syar’i dan pemotongan benar-benar dilakukan dengan benda tajam, bukan dengan kuku atau gigi ; dan sebagian lagi ada yang menyembelih secara tidak syar’i, maka tidak apa memakan sembelihan yang berasal dari tempat itu bersandarkan kepada mayoritas, akan tetapi sebaiknya menghindarinya karena sikap hati-hati.”Ditanya mengenai hal ini, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin berpendapat dalam Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-1, hal 387-388 Darul Haq, sebagai berikut :“Kami nasehatkan agar tidak makan daging syubhat (masih diragukan) yang ada di situ, sebab boleh jadi tidak halal. Sebab biasanya orang-orang Amerika tidak mempunyai komitmen dengan penyembelihan syar’i, yaitu penyembelihan dengan pisau yang tajam, menghabiskan semua darahnya dan menyebut nama Allah atasnya. Kebanyakan penyembelihan mereka dilakukan dengan sengatan listrik atau dicelup ke dalam air panas supaya kulit dan bulunya terkelupas dengan mudah agar timbangannya bertambah berat karena menetapnya darah di dalam daging. Dan di sisi lain mereka tidak mengakui adanya keharusan menyebut nama Allah di saat menyembelih. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Janganlah kamu memakan hewan yang disembelih tidak menyebutkan nama Allah atasnya” [Al-An’am : 121]. Allah Subhanahu wa Ta’ala membolehkan kita memakan sembelihan ahlul kitab, karena dahulu mereka menyebut nama Allah ta’aala ketika menyembelihnya dan mereka lakukan dengan pisau hingga darahnya habis tuntas melalui tempat sembelihan.
Demikianlah dahulu kebiasaan mereka, mereka lakukan itu karena mereka komitmen kepada ajaran yang ada di dalam Kitab Suci yang mereka akui. Sedangkan pada abad-abad belakangan ini mereka sudah tidak mengetahui ajaran yang ada di dalam Kitab Suci mereka, maka mereka menjadi seperti orang-orang murtad. Maka dari itu kami berpendapat untuk tidak memakan hewan sembelihan mereka, kecuali jika dapat dipastikan mereka menyembelihnya secara syar’i.
Maka berdasarkan penjelasan diatas kami berpendapat : Dilarang makan daging syubhat (diragukan) yang ada di restaurant cepat saji tersebut, dan kalian memakan ikan saja di restoran-restoran atau memilih restoran Islam yang pemiliknya komitmen dengan sembelihan secara syar’i atau kalian sendiri yang melakukan penyembelihan hewan, seperti ayam dan hewan ternak berkaki empat lainnya.
Jadi kalian tidak makan kecuali sembelihan orang yang kalian percayai dan orang Muslim atau ahlul kitab. Walahu a’lam.”
Mengenai daging import dan keju dari Negara non muslim, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rohimahullah berpendapat dalam Majmu’ah Fatawa Al-Madina Al-Munawarah, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Albani, Penulis Muhammad Nashiruddin Al-Albani Hafidzzhullah, Penerjemah Adni Kurniawan, Penerbit Pustaka At-Tauhid, sebagai berikut :“Daging (import) ini ada dua kemungkinan yaitu hewan yang boleh dimakan dan tidak boleh dimakan. Hewan yang boleh dimakan terbagi menjadi dua kemungkinan :
Pertama, Sembelihan ahli kitab, ini bisa berupa disembelih secara syari’at maka halal dimakan. Sedangkan dibunuh dengan cara (yang tidak syar’i), maka haram dimakan, karena kita tidak mengetahuinya dengan jelas. Nabi Shalallahu’alaihi wasalam bersabda : “Tinggalkan apa yang meragukanmu, lakukan apa yang tidak meragukanmu”.
Yang kedua, Bukan sembelihan ahli kitab, maka hukumnya haram. Daging hewan yang tidak dimakan sembelihannya (hewan yang haram dimakan) maka ini hukumnya haram. Adapun mengenai keju maka tidak haram hukumnya, karena para sahabat rodhiyallahuanhum memakan keju yang mereka peroleh dari negeri
Persia. Dan senyawa penyusunan keju tersebut yang diambil dari hewan yang tidak disembelih secara Islami, maka senyawa tersebut najis dan haram. Dan di sini tidak ada bedanya apakah hewan tersebut disembelih atau tidak.
Mengenai perbuatan para sahabat yaitu memakan keju yang mereka peroleh dari
Persia membukakan suatu pintu (bab) fiqih bagi kita yang jarang dibahas orang.
Lihatlah! senyawa najis ini dalam prosesnya dicampur dalam susu yang jumlahnya sangat besar. Coba kita bandingkan dengan air suci yang turun dari langit dalam jumlah yang sangat banyak dalam suatu penampungan. Kemudian air tersebut kemasukan sedikit najis. Bolehkah kita meminum air ini dan bersuci dengannya ? Boleh, karena najis tersebut tidak mengalahkan kesucian air tersebut, dan sifat air itu tetap seperti semula yaitu suci dan mensucikan. Maka demikian pula dengan susu tersebut, ia suci dan boleh diminum.
Dan seandainya susu yang tercampur senyawa najis tersebut berubah menjadi keju, maka di sini aku sama sekali tidak dapat memberikan suatu pendapat. Akan tetapi jika ada sebagian ahli kimia yang meneliti bahwa keju dari susu yang tercampur senyawa najis tersebut telah berubah menjadi senyawa atau materi lain, maka masalah ini menjadi lebih mudah (ia menjadi halal –pent)
Adapun jika ternyata senyawa tersebut masih dalam hakikat semula, tetapi ia teramat kecil bila dibandingkan jumlah susu yang telah berubah menjadi keju, maka jawabnya adalah sebagaimana yang baru saja disebutkan (ia menjadi halal, -pent). Perubahan materi sangat berpotensi merubah hukum-hukum syar’i. Dan perubahan materi termasuk sesuatu yang bisa mensucikan benda-benda yang najis dalam syariat Islamiyah.
Khamr diharamkan karena memabukkan. Tapi jika khamr tersebut mengalami perubahan dan menjadi cuka, maka cuka tersebut tidak lagi memabukkan dan hukumnyapun menjadi halal. Jadi cuka ini boleh diminum karena tidak memabukkan dan tidak pula najis.”
Selanjutnya Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan memfatwakan mengenai daging import dalam Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 5/320-321, sebagai berikut : “Daging yang diimport dari selain negeri kaum muslimin, ada dua jenis.
Pertama : Daging-daging itu berasal dari negeri Ahli Kitab, maksudnya negeri yang penduduknya beragama Nasrani atau Yahudi, dan yang melakukan penyembelihan adalah salah seorang Ahli Kitab dengan penyembelihan yang sesuai syariat.
Daging jenis ini halal dikonsumsi oleh kaum muslimin berdasarkan ijma karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka”. [Al-Maidah:5]
Kata ‘tha’amuhum, maksudnya adalah sembelihan mereka berdasarkan ijma’ ulama. Karena selain sembelihan, seperti biji-bijian, buah-buahan dan lain sebagainya halal, baik berasal dari Ahli Kitab ataupun lainnya.
Kedua : Daging import dari negeri bukan negeri Ahli Kitab, seperti negeri komunis, negeri paganis (penyembah patung).
Daging-daging ini tidak boleh dikonsumsi oleh kaum muslimin, selama penyembelihannya tidak dilakukan oleh seorang Muslim atau seorang Ahlu Kitab (dengan cara penyembelihan yang sesuai syari’at, -red). Jika penyembelihannya diragukan agamanya, atau metode penyembelihannya diragukan, apakah dilakukan sesuai dengan tuntunan syari’at atau tidak, maka seorang muslim diperintahkan untuk berhati-hati dan meninggalkan yang syubhat (samar). Sedangkan (daging-daging) yang tidak mengandung syubhat sudah bisa mencukupi (mudah didapat).
Makanan itu sangat berbahaya, jika makanan itu keji (haram) ; karena akan memberikan makanan dengan makanan yang buruk. Dan daging-daging sembelihan itu memiliki kepekaan (sensitifitas) yang besar. Oleh karena itu, disyaratkan pada daging-daging sembelihan itu berasal dari orang-orang yang berhak melakukan penyembelihan, yaitu orang-orang Muslim atau Ahli Kitab, dan cara penyembelihannya dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat. Jika dua syarat ini tidak terpenuhi, berarti daging itu merupakan bangkai, sedangkan bangkai itu (hukumnya) haram.
Kesimpulannya, daging-daging yang ditanyakan ini, jika diimport dari negeri Ahli Kitab dan disembelih sesuai dengan tuntunan syari’at, maka daging ini boleh dikonsumsi. Sedangkan jika disembelih tidak sesuai dengan tuntunan syari’at, seperti dengan menggunakan sengatan listrik atau semacamnya, maka (demikian) ini haram.
Jika urusan ini masih samar pada anda, maka tinggalkan daging-daging itu dan beralihlah kepada yang tidak mengandung syubhat. Wallahu a’lam” Mengenai masalah daging yang tidak disembelih oleh orang yang tidak sholat, beliau memfatwakan dalam Kitab Al-Muntaqa min Fatawa Fadhilatisy Syaikh Shalih bin Fauzan, 5/324, sebagai berikut :“Daging yang dijual di pasar-pasar kaum muslimin dari hewan-hewan yang disembelih di negera-negara Islam hukum asalnya adalah halal, alhamdulillah. Dan tidak perlu ditanyakan tentangnya, selama belum jelas atau tidak terbukti bahwa daging itu berasal dari sembelihan yang tidak sesuai syari’at.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang satu kaum yang baru masuk Islam, mereka membawa daging ke pasar-pasar kaum muslimin, dan tidak diketahui apakah mereka menyebut nama Allah ketika menyembelih ataukah tidak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban. “Hendaklah kalian membaca bismillah dan makanlah” [Hadits Riwayat Bukhari 6/226 dari Aisyah]
Maksudnya, bacaan basmalah ketika hendak makan. Sehingga keraguan yang ada pada benak para penanya tidak memiliki kesempatan untuk menjadikan daging-daging itu haram, wallahu a’lam.
Sedangkan kondisi orang-orang yang dipertanyakan yang meremehkan shalat berjama’ah, tidak mesti mengakibatkan hasil sembelihan mereka menjadi haram. Karena meninggalkan shalat berjama’ah, meskipun itu merupakan perbuatan haram (berdosa), namun perbuatan itu tidak mengeluarkan dari Islam, dan pelakunya tidak dianggap kafir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar